Rabu, 01 Desember 2010

harmoni kehidupan pedesaan


Desentralisasi dan
Demokrasi Desa1
oleh : Lutfi Efendi
Membangun kembali negara Indonesia
harus dimulai dari bawah, yaitu mulai
dari membuat desa terkondisi.

Kalau “air mata” diserahkan kepada nagari,
tetapi kalau “mata air” diambil oleh kabupaten.
(Suara Wali Nagari, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat).
Kita harus membuat kepala desa menjadi
kepala warga masyarakat desa,
bukan sebagai bawahan bupati dan camat.
(Lilis N. Husna, LAKPESDAM-NU).
Berbicara tentang pembaharuan desa bukan berarti menghukum desa sebagai terdakwa utama, melainkan membawa desa pada posisi yang sebenarnya ke dalam konteks desentralisasi dan demokrasi lokal. Desentralisasi adalah bingkai pembaharuan untuk pola hubungan antara desa dengan pemerintah supradesa (negara), yang kemudian bakal melahirkan kembali otonomi desa. Demokrasi lokal adalah bingkai pembaharuan terhadap tata pemerintahan desa atau hubungan antara pemerintah desa, parlemen desa (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan elemen-elemen masyarakat desa yang lebih luas. Saya hendak mengedepankan argumen bahwa desa harus “dibela” desentralisasi dan sekaligus harus “dilawan” dengan demokrasi.
1Makalah Disampaikan Dalam Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999 yang diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra Indonesia Medan, dan Pusaka Indonesia, Deli Serdang, Sumatera Utara, 19 November 20003.
2Ketua SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (STPMD) "APMD", Direktur INSTITUTE FOR RESEARCH AND EMPOWERMENT (IRE) Yogyakarta dan Anggota Dewan Pengarah FORUM PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT (FPPM), Jakarta.
1
Mengapa desa harus “dibela” tetapi juga harus “dilawan”? Bagaimana kita meletakkan desa dalam konteks desentralisasi dan demokrasi lokal? Bagaimana konteks dan relevansinya? Seperti apa formulanya? Bagaimana membuat desentralisasi dan demokrasi bisa bekerja di desa?
Untuk menjawab serangkaian pertanyaan itu, tulisan ini hendak menyandarkan diri pada prinsip desentralisasi yang demokratis. Desentralisasi dan demokratisasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Desentralisasi tanpa disertai demokratisasi sama saja memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah/desa. Sebaliknya demokrasi tanpa desentralisasi sama saja merawat hubungan yang jauh antara pemerintah dan rakyat, atau menjauhkan partisipasi masyarakat. Dalam berbagai literatur juga ditegaskan bahwa tujuan penting desentralisasi adalah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal.3 Sedangkan konsep desentralisasi demokratis (democratic decentralization) merupakan bentuk pengembangan hubungan sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal dan antara pemerintah lokal dengan warga masyarakat. Desentralisasi demokratis hendak mengelola kekuasaan untuk mengembangkan kebijakan, perluasan proses demokrasi pada level pemerintahan yang lebih rendah, dan mengembangkan standar (ukuran) yang menjamin bahwa demokrasi berlangsung secara berkelanjutan. Jika dihadapkan pada pemerintah supradesa (negara), desa mempunyai hak dan kewenangan, sementara jika dihadapankan kepada masyarakat, desa mempunyai kewajiban dan tanggungjawab.
Otonomi Desa yang Hilang
Pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret pemerintahan sendiri oleh masyarakat setempat (self-governing community) yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya “otonomi asli” karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Tetapi kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen, karena masuknya negara dan modal ke desa. Ketika desa sudah diintegrasikan ke negara, self-governing community tidak ada lagi. Tangan-tangan negara ikut bermain di desa. Negara juga menjadikan desa sebagai “keranjang sampah”, yang membawa semua urusan politik, pembangunan, dan administratif ke desa. Negara juga bertindak menjadi pengawal masuknya modal ke desa sehingga terjadilah kapitalisasi yang sudah dimulai sejak Revolusi Hijau.
Di masa Orde Baru, pemerintah menerapkan UU No. 5/1979, sebuah kebijakan untuk menata ulang terhadap kelembagaan pemerintahan desa, membuat desa tradisional menjadi desa modern, dan mengintegrasikan desa secara seragam dalam struktur negara modern. Model birokrasi modern dimasukkan ke desa untuk menata mekanisme administrasi dan kelembagaan desa. Desa dikendalikan oleh tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri, propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Pemerintah pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit
3Brian C. Smith, Decentralization: Territory Dimension of the State (London: MacMillan, 1985); Dennis Rondinelli, "What is Decentralization?" Note prepared for the PREM Knowledge Management System, World Bank, Washington, DC, 1998; dan Larry Diamond, Deloping Democracy (Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1999), bab 4.
2
pemerintahan terendah menjadi nama “desa”, sebagai upaya untuk memudahkan kontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa. Struktur birokrasi sipil dan militer dirancang secara hirarkhis dan paralel dari Jakarta sampai ke pelosok desa. Hirarkhi birokrasi sipil mengalir dari Departemen Dalam Negeri, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa. Depdagri adalah pengendali hirarkhi birokrasi sipil, yang bertanggung jawab pada struktur di atasnya, yakni istana negara (Presiden). Paralel dengan hirarkhi birokrasi sipil adalah hirarkhi militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam di Propinsi, Korem di wilayah pembantu gubernur, Kodim di Kabupaten/Kotamadya, Koramil di Kecamatan, dan Babinsa di Kelurahan/Desa. Semua ini dimaksudkan untuk menciptakan keamanan, ketahanan, kerukunan dan ketertiban desa yang terkendali.
Kebijakan tersebut sangat efektif menciptakan stabilitas dan katahanan desa. Tetapi kerugiannya bagi masyarakat lokal jauh lebih banyak dan lebih serius. Bagi komunitas lokal di luar Jawa, UU No. 5/1979 merupakan bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal, maupun adat-istiadat lokal. UU No. 5/1979 juga meneguhkan posisi kepala desa sebagai “penguasa tunggal” di desa, yang sekaligus membuat kepala desa lebih berorientasi ke atas ketimbang sebagai pemimpin desa yang memperoleh legitimasi kuat di hadapan masyarakat. Akibatnya benturan antara kepala desa dengan pemimpin adat maupun masyarakat terjadi secara serius.
Selain terjadi negaranisasi (negara masuk desa dan desa dimasukkan ke dalam negara), di masa Orde Baru juga terjadi pembangunanisasi (pembangunan masuk ke desa dan desa dimasukkan dalam agenda besar pembangunan) melalui pengenalan konsep pembangunan desa terpadu sejak 1970-an. Kebijakan pembangunan desa terpadu dilancarkan melalui gerakan revolusi hijau, program penanggulangan kemiskinan, program Inpres Desa, maupun program-program bantuan lain. Para kepala desa di zaman Orde Baru mengatakan bahwa semua departemen di Jakarta, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program pembangunan di tingkat desa. Orang tidak bisa menghitung lagi berapa jumlah dana yang dialokasikan ke desa. Semua program pembangunan desa terpadu ini secara umum dimaksudkan untuk mengangkat derajat hidup orang desa, mengubah wajah desa yang terpencil, memperbaiki prasarana fisik desa, membuka akses transportasi dan transaksi ekonomi, memberikan layanan dasar bagi orang desa, memerangi kemiskinan dan kebodohan, membuat desa menjadi modern, dan lain-lain.
Secara empirik Orde Baru memang mengukir “cerita sukses” yang luar bisa dalam pembangunan desa. Setelah berjalan selama tiga dekade, sebagian besar desa-desa di Inondesia (kecuali wilayah-wilayah pedalaman di Luar Jawa), telah berubah wajahnya. Desa jauh lebih terbuka, dengan jalan-jalan yang mulus, irigasi yang lancar, penerangan lingkungan yang memadai, tersedianya sarana transportasi yang semakin baik, jalur transaksi ekonomi yang kian terbuka, tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Dengan kondisi fisik yang semakin baik, maka mobilitas orang desa semakin mudah dan transaksi ekonomi desa-kota semakin lancar. Akan tetapi, kebijakan pembangunan desa ini juga mendatangkan kerugian besar. Derajat hidup orang desa tidak bisa diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit yang setiap tahun dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik modal maupun tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui patronase semakin memperkaya para elite desa 3
maupun para tengkulak, sementara para tunawisma maupun tunakisma semakin banyak. Petani selalu menjerit karena harga produk pertanian selalu rendah, sementara harga pupuk selalu membumbung tinggi. Pengangguran merajalela. Urbanisasi terus meningkat ikut memberikan kontribusi terhadap meluasnya kaum miskin kota yang rentan dengan penggusuran dan bermusuhan dengan aparat ketertiban. Proyek swasembada beras juga gagal. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negeri agragis tetapi harus melakukan impor beras dari negeri tetangga. Program bantuan juga tidak meningkatkan kapasitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapi jutsru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuan pemerintah supradesa.
Kini desa memasuki babak baru ketika desentralisasi dan demokrasi lokal mengalami kebangkitan, menyusul lahirnya UU No. 22/1999. Bagaimanapun desentralisasi dan demokrasi lokal merupakan solusi yang manusiawi dan paling canggih bagi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Keduanya, secara normatif, bisa mendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mendekatkan pelayanan publik, meningkatkan pemerintahan lokal yang transparan dan akuntabel, dan memperkuat partisipasi masyarakat lokal. UU No. 22/1999, sebuah undang-undang yang paling populer, sedikit-banyak telah memberikan ruang bagi eforia kebangkitan semangat lokalitas dan otonomi desa. Dulu, desa selalu memperlihatkan kepatuhan yang luar biasa kepada kecamatan dan kabupaten. Sekarang, meski otonomi desa belum sempurna dibingkai, tetapi suara menuntut otonomi desa dari bawah membahana di berbagai tempat. Di Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, Purworejo, Rembang, Pekalongan, Indramayu, dan lain-lain telah tumbuh asosiasi kepala desa maupun Badan Perwakilan Desa (BPD) yang berupaya mempengaruhi kebijakan kabupaten agar memberikan otonomi desa yang lebih besar.
Tetapi praktik desentralisasi, mulai dari kebijakan sampai praktik empirik pengelolaan kekuasaan, mengandung sejumlah kelemahan yang ujungnya adalah ruang yang terbatas bagi otonomi daerah. Kelemahan pertama bisa dilihat dari sisi paradigmatik atau pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah kerapkali dipahami secara sempit hanya sebagai bentuk penyerahan urusan secara administratif, otonomi dalam keuangan, maupun pengelolaan kewenangan pemerintah. Pemahaman itu antara lain telah mengabaikan aspek pembagian kewajiban dan tanggungjawab publik pemerintah serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah.
Kelemahan kedua bisa dibidik dari sisi kebijakan maupun regulasi pemerintah. UU No. 22/1999 justru lebih menekankan otonomi daerah berbasis pada kabupaten/kota, sehingga tidak memberikan jaminan formal bagi otonomi desa. UU maupun PP No. 76/2001 memang telah menggariskan bahwa desa merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Tetapi konsepsi ini tidak memberikan batas-batas otonomi yang lebih besar dan konkret sebagaimana otonomi yang diterima kabupaten/kota. Desa bagaimanapun tetap dipandang sebelah mata oleh pemerintah supradesa, yang tetap menjadi subordinat yang harus 4
tunduk pada perintah kabupaten. Para penguasa kabupaten umumnya mengatakan bahwa otonomi berhenti di kabupaten. Desa hampir hilang dari peta wacana, pemikiran dan kebijakan desentralisasi.
Kelemahan ketiga, dari sisi praktik empirik, desa hanya mempunyai kewenangan yang sangat terbatas karena semuanya telah dikuasai kabupaten/kota. Setiap urusan pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan dengan regulasi kabupaten. Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten tentang pemerintahan desa yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas. Berkembangnya asosiasi (paguyuban) lurah desa di berbagai kabupaten tampaknya juga didorong oleh resistensi para lurah desa terhadap kebijakan kabupaten, yang kini terus berkembang menjadi basis akses desa dalam proses pembuatan kebijakan kabupaten.
Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana pusat yang didaerahkan melalui Dana Alokasi Umum. Dalam praktiknya, sebagian dana kabupaten/kota memang didesakan tetapi tidak dibingkai melalui kerangka regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati. Sampai sekarang konsep “bantuan” masih tetap dominan dalam kebijakan, bukan sebagai “alokasi” atau “pembagian” yang memungkinkan terjadinya perimbangan keuangan antara supradesa dengan desa.
Otonomi desa, kini, menjadi komoditas baru, bahkan menjadi arena tarik-menarik antar kekuatan, yakni antara pemerintah supra desa (yang kontra dengan otonomi desa) dengan para pendukung otonomi desa, baik kalangan masyarakat adat, perangkat desa maupun LSM. Berbeda dengan kondisi masa lalu, dimana para kepala desa tunduk total pada instruksi dari atas, sekarang, para kepala desa (atau nama lainnya) bergerak membuat asosiasi untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah supradesa (kabupaten) dan sekaligus memperjuangkan otonomi desa. Mereka punya militansi dan suara yang lantang menentang intervensi supradesa, memprotes kebijakan kabupaten yang tidak aspiratif, menuntut pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan yang lebih adil, dan lain-lain. Suara asosiasi kepala desa itu paralel dengan suara temannya, asosiasi Badan Perwakilan Desa (BPD), meski dua asosiasi itu punya kapling dan jalan sendiri-sendiri. Masyarakat adat di berbagai daerah, yang tergabung dalam AMAN, telah berjuang secara lantang menuntut pengembalian identitas lokal, pengembalian pemerintahan lokal berbasis adat (nagari, lembang, kampung, gampong, binua, marga, banjar, dan lain-lain), pengakuan pada keragaman, pengakuan pada eksistensi masyarakat adat dan hak ulayat adat, pembagian sumberdaya alam yang lebih adil, dan seterusnya.
Banyak LSM di berbagai daerah telah berupaya secara serius mendukung perjuangan otonomi desa, melalui pengembangan jaringan, belajar bersama, memperkuat organisasi lokal, melakukan kajian (penelitian), mendesakkan perubahan kebijakan, menyebarluaskan gagasan otonomi desa dan lain-lain. Di Yogyakarta misalnya, ada sejumlah LSM yang mendukung promosi otonomi desa dan pembaharuan desa, seperti
5
USC-Satunama, CD Bethesda, LAPPERA, IRE, Praya Desa, KARSA, Forum LSM, dan sebagainya. Di Jakarta, selama 4 tahun terakhir, telah berkembang Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), sebagai arena sharing dan learning secara multipihak (pemerintah, perguruan tinggi, ormas, LSM, media massa, organisasi lokal, dan lain-lain) untuk mempromosikan otonomi desa. Sebaliknya, perguruan tinggi, kecuali STPMD "APMD", tidak merespon secara kelembagaan untuk mendukung agenda otonomi desa. Di UGM, memang ada beberapa aktor yang secara personal tampil mendukung pembaharuan desa, tetapi sebagai institusi UGM mengambil jalan lain yang sangat jauh dari desa. Kalau konsisten dengan citra “universitas ndeso”, UGM seharusnya berbuat sesuatu yang mendukung pembaharuan desa. Di Jakarta para akademisi di UI (kecuali mendiang Prof. Selo Sumardjan) dan LIPI sama sekali tidak punya sense tentang desa, mereka malah memandang sebelah mata pada desa. Desa, bagi mereka, hanya tergambar dalam bentuk kerbau yang berkubang di sawah. “Desa itu urusan orang Yogya”, demikian tutur seorang teman peneliti LIPI. Belakangan, terbukti LIPI telah merumuskan legal drafting sebagai alternatif revisi UU No. 22/1999, yang sama sekali tidak memberikan sentuhan yang berharga bagi desa.
Seperti biasa, pemerintah selalu datang terlambat, dan bahkan mengambil jalan lain yang tidak mendukung otonomi desa. Pemerintah pusat sudah cukup puas telah memberikan ruang bagi masyarakat lokal (desa dan adat) untuk bisa “bernostalgia”, misalnyan denga cara merubah posisi desa dari pemerintahan terendah di bawah camat (UU No. 5/1979) menjadi kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan hak asal-usul atau adat-istiadat desa. Untaian kalimat ini lebih sebagai simbol romantik ketimbang sebagai kebijakan visioner dan konkret yang berpihak kepada masyarakat lokal. Terbukti kerangka hukum maupun kebijakan pemerintah sama sekali tidak melahirkan rumusan dan tindakan konkret yang membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa. Pemerintah pusat masih tetap memandang desa sebelah mata; desa tidak lebih sebagai obyek yang harus dibina, dikendalikan dan diberi “bantuan”. Meski desa diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum, tetapi posisinya tetap di bawah kendali dan hirarkhi kabupaten sehingga tidak mempunyai otonomi yang lebih luas sebagaimana dimiliki oleh kabupaten/kota.
Para pejabat supradesa umumnya memandang desa dengan sebelah mata, selalu mengatakan bahwa otonomi desa justru mengganggu otonomi daerah dan selalu membuat stigma bahwa para perangkat desa “tidak siap” melaksanakan otonomi desa. Argumen “tidak siap” selalu mereka gunakan sebagai justifikasi bagi sentralisasi baru di kabupaten. Tetapi mereka selalu kedodoran bila menghadapi tuntutan yang keras dari desa. Beberapa kabupaten memang telah memperhatikan masalah otonomi desa, tetapi umumnya tidak membuat formulasi gagasan dan kebijakan otonomi desa yang memadai, kecuali hanya membuat kebijakan yang parsial, misalnya tentang dana abadi untuk desa maupun dana bantuan desa atau dana perimbangan desa. Kabupaten Solok (Sumatera Barat), misalnya, telah selangkah lebih maju dalam mendukung desentralisasi nagari. Bahkan Solok bisa dijuluki sebagai pelari terdepan desentralisasi desa,4 karena yang tampil pertama kali melaksanakan kebijakan dan gerakan “kembali ke nagari”. Tetapi pelari terdepan belum
4Sutoro Eko, “Pelari Terdepan Desentralisasi Desa”, JENDELA, No. 6, 2003.
6
tentu sebagai pelari terbaik. Selama ini Solok dipublikasikan dan dicitrakan secara luas telah melakukan desentralisasi 105 kewenangan atau 29 bidang. Setelah saya berinteraksi secara dekat dengan orang-orang Solok, ternyata yang terjadi bukan desentralisasi kewenangan kepada nagari melainkan penyerahan urusan dari kabupaten ke nagari. Sebagai konsekuensi dari penyerahan urusan itu, Pemda Solok mengalokasikan Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) berkisar antara 75 juta rupiah hingga 150 juta rupiah per nagari. Bagaimanapun penyerahan urusan adalah sebuah bentuk distorsi atas desentralisasi kewenangan. Jika kewenangan akan memberikan jaminan hak penuh pada desa (nagari) dan menantang tanggungjawab (akuntabilitas) nagari, sebaliknya kalau penyerahan urusan sama saja dengan pemindahan beban kepada nagari, yang membuat nagari hanya sebagai “tukang” yang diberi pekerjaan oleh pemda kabupaten.
Kemunduran Demokrasi Desa
Demokrasi desa telah mengalami kemunduran serius setelah kolonialisasi, negaranisasi dan pembangunanisasi masuk desa. Kita sering mendengar cerita-cerita romantis bahwa desa merupakan basis dan benteng terakhir demokrasi ketika demokrasi secara nasional telah mati. Orang Minangkabau misalnya, selalu membanggakan bahwa nagari di sepanjang masa selalu merawat demokrasi komunitarian melalui tradisi musyawarah untuk pengambilan keputusan secara kolektif. Banyak orang sering mengemukakan bahwa sisa-sisa demokrasi masih terpelihara di desa Jawa, sebagaimana ditunjukkan dengan sejumlah indikator: pemilihan langsung kepala desa, tradisi forum-forum RT sampai rembug desa sebagai arena pembuatan keputusan kolektif yang demokratis, terjaganya solidaritas komunal (gotong royong) antarwarga, warga masyarakat yang saling hidup damai berdampingan, dan sekarang tumbuh badan perwakilan desa yang dipilih secara demokratis.
Tetapi kisah dominasi elite desa yang lebih berorientasi pada pemerintah supradesa merupakan pertanda substantif bahwa demokrasi desa telah terjadi kemunduran yang luar biasa. Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, dalam bukunya Demokrasi di Pedesaan Jawa (1983), menunjukkan kemunduran demokrasi desa sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an. Keduanya menunjukkan dua kata kunci dalam demokrasi tradisional desa yang dulu pernah hidup: gotong royong dan musyawarah. Tetapi, mereka mencatat bahwa demokrasi desa rupanya telah mengalami kemunduran karena perubahan sosial-ekonomi dan pergeseran kepemimpinan kepala desa. Mereka mencatat beberapa bukti kemunduran demokrasi desa di era modern. Pertama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya, kades lebih menjadi administrator ketimbang menjadi pemimpin. Kedua, pertumbuhan penduduk telah menyebabkan keterbatasan tanah sehingga tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal. Ketiga, masuknya partai-partai politik ke desa yang menyebabkan berubahnya struktur kekuasaan desa. Keempat, kemunduran demokrasi tradisional juga disebabkan oleh polarisasi pasca kemerdekaan, konflik mengenai land reform, pembangunan pertanian dan desa, yang kesemuanya menimbulkan perubahan fungsi ekonomi kades dan keikutsertaan masyarakat dalam proses politik dan pembangunan desa.
7
Di sepanjang Orde Baru, desa merupakan sebuah miniatur negara yang dikelola secara sentralistik dan otoriter. Kepala desa adalah “penguasa tunggal” yang mengendalikan segala hajat hidup orang desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat yang berakar dan legitimate di mata masyarakat, melainkan menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa (lurah desa) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. “Hitam putihnya desa ini tergantung pada lurahnya”, demikian ungkap seorang warga desa. Kades harus mengetahui semua hajat hidup orang banyak, sekalipun hanya selembar daun yang jatuh dari pohon. Karena itu kepala desa selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul, mempunyai sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat setiap hari. Umumnya kepala desa yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap kepala desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda-beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, kepala desa umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Kepala desa dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.
Kepala desa selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi dia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena kepala desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga. Kepala desa punya citra diri benevolent atau sebagai wali yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga kades tidak perlu bertele-tele bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja kepala desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh sang kepala desa tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Warga desa, yang sudah lama hidup dalam pragmatisme dan konservatisme, sudah cukup puas dengan penampilan Pak Kades yang lihai pidato dalam berbagai acara seremonial, yang populis dan ramah menyapa warganya, yang rela beranjangsana, yang rela berkorban mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk kepentingan umum, yang menjanjikan pembangunan prasarana fisik dan seterusnya. Masyarakat tampaknya tidak mempunyai ruang yang cukup dan kapasitas untuk voice dan exit dari kondisi struktural desa yang bias elite, sentralistik dan feodal.
8
Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Karena itu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempel untuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalau ada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani”, demikian tutur seorang kepala desa.
Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para pamong desa beserta elite desa lainnya dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja pamong desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan pamong dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan pamong untuk beranjangsana (jagong, layat dan sanja).
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.
Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi
9
yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa.
Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif. “Saya tidak tahu persis cara ngurus kelahiran dan berapa biayanya. Biayanya kok beda-beda. Warga desa sini biasanya tidak ngurus sendiri, tapi dititipkan dan diurus oleh pamong desa. Nanti kita menambah biaya administrasi dan transport”, demikian tutur seorang warga desa. Fenomena ini memperlihatkan praktik-praktik “pasar gelap” dalam penjualan pelayanan publik, meski warga desa sudah lama mahfum.
Lemahnya partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat merupakan sisi lain dari lemahnya praktik demokrasi di tingkat desa. Di zaman Orde Baru, dua institusi yang seharusnya menjadi basis partisipasi (LMD dan LKMD) ternyata tidak memainkan peran penting mewadahi partisipasi masyarakat, karena keduanya adalah institusi korporatis untuk pengendalian masyarakat dan wadah oligarki elite desa. Sampai sekarang, elite desa tidak mempunyai pemahaman yang memadai tentang partisipasi. Bagi kepala desa, partisipasi adalah bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan pemerintah desa. Karena mengikuti instruksi dari atas, pemerintah desa memobilisasi gotong-royong dan swadaya masyarakat (yang keduanya dimasukkan sebagai sumber penerimaan APBDes) untuk mendukung pembangunan desa yang didesain secara sentralistik. Di atas kertas, Indonesia mengenal perencanaan pembangunan dari bawah yang dimulai dari forum RT, Musbangdus dan Musbangdes. Tetapi alur perencanaan dari bawah ini tidak otentik dan tidak bermakna partisipatif karena sarat dengan manipulasi yang akhirnya semua agenda pembangunan dirumuskan menurut preferensi kepala desa.
Lemahnya praktik-praktik demokrasi desa di atas dibungkus dalam kultur dan struktur kekuasaan desa yang paternalistik-klientelistik. Kultur kepamongan yang klientelistik melekat betul pada pemerintah desa. Pamong desa berarti harus bisa menjadi pengayom, pelindung, panutan, teladan, murah hati, ringan tangan, dan seterusnya. Intikator kinerja menurut versi masyarakat itu tidak menjadi masalah sejauh tidak bersentuhan dengan masalah kekuasaan, kekayaan dan barang-barang publik. Tetapi berurusan dengan pemerintahan dan birokrasi negara, dimensi kekuasan dan kekayaan itu tidak bisa diabaikan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pemerintah desa yang mengelola kekuasaan dan kekayaan dalam bingkai birokratisasi negara justru menyebabkan pergeseran makna pamong desa: dari pamong desa yang populis dan egaliter menjadi perangkat desa yang birokratis. Pamong tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat, melainkan telah menjadi tangan-tangan negara yang membenani dan mengendalikan masyarakat
Tetapi pamong desa sebenarnya telah menjadi mitos karena terus-menerus mengalami kritis. Krisis pamong desa tidak bisa dihindarkan ketika terjadi kasus
10
penyimpangan terjadi yang diikuti dengan gelombang protes masyarakat. Pada era reformasi, protes sosial masyarakat pada pemimpin lokal (baik bupati maupun pamong desa) membahana ke seluruh pelosok negeri. Seperti halnya bola salju, reformasi di tingkat nasional bergulir meluas dan membesar sampai ke daerah dan bahkan pelosok desa. Fenomena ini, menurut Kompas (12 Desember 1998), merupakan bentuk kebangkitan rakyat pedesaan yang mendadak memperoleh kedaulatan setelah sekian lama hidup mereka sangat tertekan. Seperti halnya gerakan reformasi nasional, semangat reformasi yang berkobar di tingkat lokal tampaknya hendak merombak tatanan politik lama yang tidak adil dan tidak demokratis, yang lebih khusus adalah “mengkudeta” para pemimpin lokal yang bermasalah atau mengidap penyakit “KKN”.
Fenomena protes sosial masyarakat tentu merupakan indikator krisis pamong desa, yang hanya mengutamakan legitimasi simbolik secara personal ketimbang legitimasi politik secara institusional. Protes sosial masyarakat desa yang setiap saat bisa berkobar merupakan pertanda tuntutan masyarakat yang melambung tinggi untuk mendesak pemerintah desa agar menunjunjung tinggi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Ketika pemerintah desa lebih mengedepankan paradigma kekuasaan, kewenangan dan kekayaan, maka ia jauh dari prinsip akuntabilitas, transparansi, dan responsivitas.
Dari sisi demokrasi desa, orang yang berhaluan populis dan romantis selalu “membela” desa sebagai level pemerintahan yang paling demokratis. Dari sisi prosedural, demokrasi desa dilihat dari praktik pemilihan kepala desa secara langsung serta kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga legislatif yang merumuskan kebijakan desa dan melakukan kontrol terhadap desa. Dari sisi kultural, orang sering menjustifikasi solidaritas sosial dan kebersamaan dalam gotong royong sebagai indikator abadi demokrasi dalam komunitas desa.
Akan tetapi, secara empirik, pemilihan kepala desa secara langsung, keberadaan BPD dan gotong royong tidak mencerminkan indikator yang sempurna (atau bahkan tidak otentik) bagi demokrasi desa. Mengapa? Pertama, sejarah membuktikan secara gamblang bahwa pilkades di berbagai tempat selalu rawan permainan politik uang dan yang lebih serius adalah praktik-praktik kekerasan, protes sosial serta “perang dingin” berkepanjangan antarkelompok warga di komunitas desa.5 Fenomena itu terus-menerus
5Lihat “Marak Dimana-mana, Protes-memprotes Hasil Pilkades”, KR, 1 Desember, 1998; “Demo dan Perusakan terus Mewarnai Pilkades”, KR, 8 Desember 1998; “Protes-memprotes Pilkades di Purbalingga”, KR, 9 Desember 1998; “Tim Independen untuk Atasi Kerusuhan Pilkades”, KR, 11 Desember 1998; “Pilkades Balesari Magelang Rusuh”, KR, 16 Desember 1998; “Meski Bulan Puasa, Protes Pilkades Berlanjut”, KR, 26 Desember 1998; “Ruang Kades Adikarta Muntilan Dibakar”, KR, 26 Januari 1999; “Pilkades di Jateng Sarat Kerusuhan”, KR, 26 Januati 1999; “Pelaksanaan Pilkades di Tegal: 5 Desa Rusuh, 3 Rumah Dibakar”, KR, 1 Februari 1999; “26 Rumah Pendukung Kades Terpilih Dirusak”, KR, 2 Maret 1999; “Pilkades Semangkak Ricuh, Balai Desa Rusak”, KR, 29 April 2002; “Dinilai Banyak Pelanggaran, Pilurdes Banyuraden Minta Dibatalkan”, KR, 8 Juni 2002; “Pilurdes Dengok Diprotes Warga”, KR, 18 Juni 2002; “Rumah Panitia Pilurdes Diamankan, Masyarakat Menuntut Pemilihan Ulang”, KR, 21 Juni 2002; “Pelantikan Lurah Bulurejo Diwarnai Demo”, KR, 22 Juni 2002; “Pilurdes Wates Bermasalah Lagi”, KR, 28 Juni 2002; “600 Warga Tolak Hasil Pilurdes Dengok”, KR, 2 Juli 2002; dan masih banyak lagi.
11
berlanjut dalam setiap pilkades. Tetapi tidak ada kajian yang lebih mendalam dan upaya pemecahan masalah yang serius dari berbagai pihak terhadap pilkades bermasalah. Orang hanya bisa mengatakan bahwa masyarakat desa belum dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi, termasuk dalam hal menerima kekalahan dan menghargai kemenangan.
Kedua, lembaga perwakilan sebagai institusi demokrasi desa tidak memberikan jaminan secara substantif terhadap tumbuhnya demokrasi desa. Masyarakat berharap bahwa kehadiran BPD menjadi dorongan baru bagi demokrasi desa, yakni sebagai artikulator aspirasi dan partisipasi masyarakat, pembuat kebijakan secara partisipatif dan alat kontrol yang efektif terhadap pemerintah desa. Kehadiran BPD di era transisi demokrasi desa memang telah membuat pemerintah desa lebih “hati-hati” dalam bertindak dan membuat ruang politik desa semakin semarak.6 Akan tetapi kehadiran BPD juga menimbulkan masalah baru, seperti ketegangan antara kades dengan BPD. Di satu sisi ketegangan ini disebabkan karena kepala desa memang tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD dan takut kehilangan kekuasaan. Di sisi lain, di mata kades, BPD sering melanggar batas-batas kekuasaan dan kewenangan yang telah digariskan dalam regulasi.7 Sekarang lurah mengahadapi tekanan dan instruksi dari atas (kabupaten), gencetan dari samping (Badan Perwakilan Desa, BPD) dan tuntutan dari masyarakat.8 Sebagai contoh, demikian ungkap seorang lurah desa, Kabupaten Rembang:
Kepala desa itu seperti kerbau yang digiring ke kanan, ke kiri. Dari atas ditekan, dari bawah dituntut. Kami kehilangan muka dan harga diri di hadapan masyarakat, karena “demokrasi pokoke” maupun ulah dan arogansi BPD. BPD menganggap dirinya seperti “dewa”, yang menggunakan masyarakat sebagai “kereta”, mengatasnamakan masyarakat untuk menekan kepala desa. Padahal itu hanya keinginan beberapa anggota BPD.
BPD, sekarang, dianggap sebagai musuh atau ancaman terhadap kekuasaan, kewenangan dan kekayaan kepala desa. Di Bantul, misalnya, BPD diplesetkan menjadi Badan Pemborosan Desa, di Kalimantan Timur BPD dikatakan sebagai Badan Provokasi Desa. Keresahan ini sampai sekarang belum padam, karena berbeda dengan bupati/walikota
6Sutoro Eko, “Badan Perwakilan Desa: Arena Baru Kekuasaan dan Demokrasi Desa”, Makalah Dipresentasikan Dalam Seminar Internasional Dinamika Politik Lokal: Politik Pemberdayaan”, Kerjasama Yayasan Percik, Riau Mandiri, The Ford Foundation, Pekanbaru, 13-16 Agustus, 2001.
7Lihat “Otonomi Daerah Menumbuhkan Arogansi Desa”, Kompas, 13 Februari 2002; “Badan Perwakilan Desa: Konfrontasi atau Kompromi”, Kompas, 3 Agustus 2002; “BPD Belum Tentu Mewakili Kepentingan Masyarakat Desa”, Kompas, 19 Agustus, 2002.
8Sutoro Eko, “Membuat Desentralisasi dan Demokrasi Lokal Bekerja”, Makalah Disampaikan pada International Conference on Indonesia: Democracy and Local Politics, Kerjasama Pusat Studi Sosial dan Asia Tenggara UGM, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD", FISIP Universitas Atma Jaya, Yogyakarta 7-8 Januari 2003. 12
(yang dengan gampang membungkam DPRD dengan uang), kepala desa tidak mempunyai duit untuk membungkam BPD.
Ketiga, gotong-royong tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah desa “menguangkan” gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk modal sosial, bukan modal finansial sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru, berbagai program departemen umumnya juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai bentuk keswadayaan masyarakat desa. Banyak proyek yang turun dari atas dengan jumlah pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong royong masyarakat dapat menghasilkan pembangunan fisik yang mengagumkan. Pada hampir semua proyek pembangunan prasarana phisik kontribusi gotong royong selalu jauh lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Dana dari pusat hanya untuk memancing partisipasi masyarakat yang bila dijabarkan dalam nilai uang jumlahnya selalu (jauh) lebih besar dibanding dengan dana dari pusat itu. Di era Orde Baru, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai keberhasilan pemerintah.9
Gagasan Otonomi Desa
Istilah lokal atau desa bisa kita pertukarkan dalam konteks ini. Saya memaknai lokal sebagai sebuah proses governance yang terjadi dalam komunitas atau wilayah yang paling dekat dengan warga. Proses governance inilah yang melahirkan istilah pemerintahan sendiri di tingkat lokal (local self-government) atau self-governing community. Pemerintahan sendiri di tingkat lokal (local self-government) atau self-governing community yang paralel dengan otonomi lokal/desa sebenarnya punya tradisi panjang di Eropa, dan juga di desa-desa di Indonesia. Tradisi ini kembali ke negara-kota (city-states) kuno atau kembali ke badan rapat desa dan gereja. Di negara-negara Eropa dikenal berbagai macam nama local self-government, mulai dari dewan komunitas di Spanyol, commune di Italia, parish di Inggris, dan seterusnya. Hanya saja di zaman modern negara-bangsa (nation-states) mengambil posisi dominan dalam sistem politik dan administrasi. Tradisi self-government tidak menyandarkan pada kumpulan prinsip yang koheren, ia jelasnya adalah sekumpulan praktek yang berbeda dan beragam. Namun, dasar umumnya dapat ditemukan: komunitas lokal secara tradisional memiliki tingkat otonomi dalam pengelolaan urusan lokal. Sebutan “tingkat otonomi” menunjuk pada berbagai macam praktek dan pada sifat relatif independensi lokal (Markku Kiviniemi, 2001).
Di Indonesia, tradisi local self-government sudah dikenal lama dalam bentuk desa, kampung, gampong, binua, nagari, lembang, marga dan lain-lain. Menurut bahasa konstitusi Indonesia, local self-government disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum
9Lihat Rahardjo, “Gotong-royong Sebagai Modal Sosial: Sebuah Wawasan Sosiologis”, JENDELA, Buletin STPMD "APMD", No. 4, 2002. 13
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang kemudian kita kenal secara luas sebagai otonomi desa atau otonomi lokal. Sejak dulu, desa (atau nama lainnya), merupakan entitas yang mempunyai tata cara, tata pemerintahan sendiri, sistem peradilan, punya kekuasaan untuk mengelola sumberdaya ekonomi secara mandiri dan lain-lain.
Bagaimana kita memaknai kembali konsep desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau sebagai local self-government yang mempunyai otonomi dalam konteks sekarang? Bagaimana kita memahami otonomi lokal ketika desa sudah masuk dalam formasi negara? Apakah otonomi desa berarti kedaulatan desa di dalam negara yang berdaulat?
Mengikuti pendapa Lennart Lundquist (1987: 38-39), konsep otonomi terdiri dari dua dimensi utama: kebebasan bertindak dan kapasitas untuk bertindak. Tingkat otonomi seorang aktor (katakan, suatu pemerintahan lokal) berubah-ubah dari kecil sampai besar dalam dua dimensi itu. Kebebasan bertindak pemerintah lokal mungkin ditafsirkan mengacu terutama pada kesempatan institusi dan regulasi yang dijamin oleh legislasi dan konstitusi. Kebebasan bertindak adalah hak untuk memutuskan cara tindakannya sendiri. Desentralisasi institusional meningkatkan hak-hak pemerintah lokal ini. Dimensi otonomi kedua menunjuk pada kondisi otonomi dipandang dari segi kapasitas untuk mewujudkan dan mencapai tujuan yang diputuskan. Dimensi ini menyatakan keadaan nyata komunitas lokal, sumberdaya ekonomi sosial dan politik untuk bertindak.
Otonomi lokal sering dianggap sama dengan demokrasi lokal karena tanpa tingkat kebebasan bagi penentuan nasib sendiri, komunitas tidak mungkin memperkuat praktek demokrasi. Meskipun argumen di atas menegaskan peran yang lebih luas bagi demokrasi lokal, ada sedikit perselisihan bahwa demokrasi lokal, secara mendasar, adalah mengenai pemerintahan-sendiri (oleh) lokal. Ini adalah dasar pemikiran utama keberadaannya. Institusi demokrasi lokal adalah tempat di mana politik dijalankan (Stoker, 1996). Dengan kata lain, institusi ini merupakan tempat persaingan nilai dan prioritas dan (tempat) penyelesaian bersama konflik itu. Jika nilai dan preferensi persaingan diartikulasikan dan konflik diselesaikan, maka institusi demokrasi lokal, dan mereka yang terlibat di dalamnya, harus mempunyai tingkat kekuasaan dan kewenangan untuk bertindak: yaitu beberapa tingkat otonomi lokal. The European Charter of Local Self-Government (Dewan Eropa, 1985), secara tegas menekankan ‘kebebasan daerah dan lokal dari campur tangan pemerintah pusat’ merupakan komponen dasar demokrasi lokal. Karena itu, otonomi lokal merupakan sebuah isu kedaulatan: jika tidak kedaulatan atas segala sesuatu di sebuah wilayah maka setidaknya kedaulatan atas bidang kegiatan tertentu.
Dalam jangkauan beragam literatur tentang hubungan antar-pemerintah dan pemerintah pusat-lokal (lihat khususnya Stoker, 1997) ada banyak pendekatan yang berbeda terhadap isu otonomi dan kedaulatan lokal. Penganut ajaran Karl Marx yang diilhami analisis topik itu cenderung memfokuskan pada peran negara lokal dalam hubungannya dengan pemerintah nasional (Cockburn, 1977). Jadi, ‘dual state thesis’ Saunders membedakan fokus pemerintah lokal pada politik konsumsi dari urusan politik produksi pemerintah pusat (Saunders, 1984, 1986). Pendekatan ini menyatakan bahwa otonomi lokal dibatasi oleh cara-cara kerja produksi kapitalisme bahwa isu lokal akan selalu tunduk pada kepentingan pemerintah nasional untuk memelihara dan memperbaiki
14
sarana produksi. Kontras, model ketergantungan-kekuasaan yang didasari banyak program hubungan lokal-pusat, Dewan Penelitian Sosial dan Ekonomi (ESRC, Economic and Social Research Council) (Rhodes, 1981; Goldsmith, 1986), menggolongkan hubungan antara tingkat pemerintah yang berbeda sebagai bergantung pada kepemilikan dan pertukaran sumberdaya. Ketika diterapkan pada analisis jaringan kerja kebijakan (Rhodes, 1988; Marsh dan Rhodes, 1992), pendekatan ini mempunyai implikasi tertentu bagi konsep otonomi lokal, karena ia menyatakan bahwa akan ada perbedaan signifikan dalam pendekatan kebijakan antar bidang kebijakan. Akibatnya, teori ketergantungan-kekuasaan menyatakan bahwa otonomi lokal mungkin berbeda-beda dalam gayanya dan tingkatnya antar bidang kebijakan yang berbeda. Tingkat otonomi lokal dan keleluasaan, oleh karena itu, mungkin berubah pada waktu dan isu dalam sistem tata pemerintahan konstitusional yang sama.
Sementara teori yang luas ini menyediakan konteks yang sangat berguna utuk mempelajari otonomi lokal, namun ada tiga pendekatan yang memanfaatkan perhatian di sini, karena mereka secara jelas memfokuskan pada otonomi lokal, keterbatasan dan kemungkinannya. Pertama, mereka yang mendefinisikan dan menganalisis otonomi lokal dipandang dari segi ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi. Kedua, ada mereka yang mendefinisikan otonomi lokal dipandang dari segi pengaruh tata pemerintahan lokal dan ‘kebebasannya untuk’ mencapai cita-cita atau has-hasil tertentu. Ketiga, ada wawasan geografi politik yang mendefinisikan dan menganalisis otonomi lokal dipandang dari segi ruang (tempat) dan kemampuan komunitas untuk membangun pengertian dan pemaknaan mereka sendiri dalam lokalitas.
1. Kebebasan dari
Pendekatan ‘kebebasan dari’ untuk otonomi lokal didasarkan pada pemahaman konstitusional tentang hubungan lokal-pusat. Dalam banyak hal, pendekatan ini menggambarkan pendekatan ilmu politik klasik terhadap topik tersebut dan mendefinisikan otonomi lokal dipandang dari segi tingkat kebebasan yang dimiliki otoritas lokal. Akibatnya, fokus pada otonomi lokal sebagian besar top-down, yang menyelidiki proses delegasi kekuasaan oleh pemerintah nasional kepada unit pemerintah lokal. Para penulis berbeda membahas gagasan ‘kebebasan dari’ ini dalam cara teoritis dan empiris yang berbeda. Namun, semuanya mengkonsepkan otonomi lokal sebagai kebebasan dari otoritas yang lebih tinggi.
Clark (1984) memberikan teori yang paling maju dalam konsteks ini. Dia mempergunakan ide Jeremy Bentham utnuk mengembangkan sebuah teori otonomi lokal berdasarkan pada dua prinsip inisiasi dan imunitas. Menurut Clark, iniasiasi atau prakarsa pada dasarnya serba membolehkan (permissive) dan menunjuk pada ‘kekuasaan untuk bertindak, apapun keadaannya, asalkan hak untuk berbuat begitu sebelumnya ada’ (1984: 197). Imunitas, sebaliknya:
…pada dasarnya merupakan kekuasaan lokalitas untuk bertindak tanpa rasa takut terhadap otoritas oversight tingkat negara yang lebih tinggi. Dalam pengertian ini imunitas memungkinkan pemerintah lokal untuk bertindak bagaimanapun mereka
15
inginkan dalam batas-batas yang ditetapkan oleh kekuasaan inisiatif mereka (Clark, 1984, hal198).
Dengan membedakan antara inisiasi dan imunitas Clark dapat mengembangkan tipologi rangkap empat untuk membandingkan otoritas lokal yang berbeda, otoritas lokal yang paling otonom mempunyai kekuasaan inisiasi dan imunitas sementara otoritas yang paling tidak otonom sangat dibatasi kekuasaan inisiasi dan imunitasnya. Teori ini menarik banyak minat (Goldsmith, 1995) sama sekali bukan karena penggunaan teori ini oleh Clark cenderung menunjuk pada tingkat otonomi yang rendah pada sebagian besar sistem pemerintah lokal.
Teori otonomi lokal yang lebih dikembangkan juga mempertimbangkan keadaan lokal dalam hubungannya dengan argumen otonomi relatif neo-Marxist, yang menyelidiki seberapa luas pemerintah lokal mempunyai otonomi dari kekuatan kapitalis yang lebih luas, juga dari institusi negara lainnya (Cockburn, 1977; Gurr dan King, 1987). Kesimpulan dari semua studi ini, bagaimanapun, adalah bahwa otonomi lokal sangat dibatasi oleh jangkauan faktor ekonomi dan politik.
Sementara jangkauan pendekatan empiris dan teoritis untuk otonomi lokal sebagai ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi sangat meluas, namun kesimpulan dan implikasi mereka cenderung sangat mirip. Dua faktor menonjol. Pertama, ada fokus umum pada posisi konstitusional pemerintah lokal di negara yang berbeda dan cara yang didalamnya ini mempengaruhi kesempatan bagi otonomi lokal. Fokus ini mengarah pada perhatian pada jangkauan hubungan lokal-pusat yang berbeda: pembagian fungsi antar tingkat pemerintah (Goldsmith dan page, 1987); dasar hukum pembagian itu (Pierre, 1990; Page, 1991); dan rezim keuangan yang mendasari hubungan itu (Layfield, 1976; Jones dan Stewart, 1983; Blair, 1991). Sementara semua ini dianggap penting, bagaimanapun, adalah independensi keuangan pemerintah lokal yang sering dianggap paling signifikan. Sebetulnya, otonomi keuangan (yaitu, hak untuk menaikkan pendapatan dan menyusun prioritas pengeluaran secara bebas dari pemerintah pusat) terletak pada jiwa komitmen ideologi persaingan terhadap otonomi lokal, dari usaha Margaret Thatcher yang gagal untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah lokal melalui the poll tax (pajak untuk mendapat hak memilih) (Butler, Adonis dan Travers, 1994), hingga argumen ‘localist’ untuk otonomi keuangan sebagai basis pemerintahan lokal (Jones dan Stewart, 1983). Singkatnya, argumen untuk otonomi keuangan bersandar pada gagasan bahwa otonomi hukum, politik dan organisasional adalah tidak berarti tanpa sumberdaya untuk mewujudkan manfaat otonomi seperti itu. Argumen ini tetap bertahan dalam perdebatan sekarang ini tentang kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah lokal (Richards, 1997; Hale, 2001).
Kedua, fokus pada keterbatasan keuangan mengarah pada kekhawatiran umum terhadap kecenderungan sentralisasi pemerintah nasional yang berbeda. Jika otonomi keuangan dilihat sebagai kunci terhadap otonomi lokal secara lebih umum, maka ada sebuah ketegangan yang tidak dapat terelakkan antara kepentingan pemerintah pusat terhadap manajemen ekonomi keseluruhan dan tuntutan keleluasaan kebijakan pemerintah lokal (Goldsmith, 1986). Namun, bukan hanya otonomi keuangan yang
16
menonjol dalam studi sentralisasi yang meningkat. Michael de Vires (2000), misalnya, memetakan perubahan kepentingan dalam kebijakan desentralisasi di empat negara Eropa dan menyimpulkan bahwa dukungan bagi desentralisasi sebagian besar karena elit lokal yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kecenderungan normatif atau ideologis ke arah pemerintahan lokal. Jadi, sentralisasi merupakan sebuah kecenderungan alami ketika tidak ada argumen kuat yang diajukan dengan sebaliknya. Sungguh, dalam pendefinisian otonomi lokal dipandang dari segi ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi ada, tidak dapat dihindarkan, perhatian sistem pada sentralisasi. Jika perhatian difokuskan pada tingkat relatif independensi pemerintah pusat maka tidak terelakkan bahwa perhatian utama studi akan menjadi pembatas independensi itu.
Pendefinisian otonomi lokal sebagai ‘kebebasan dari’ otoritas yang lebih tinggi, oleh karena itu, problematis bagi demokrasi lokal karena ia menerima anggapan bahwa otonomi lokal dan demokrasi lokal berhubungan secara bilateral. Termasuk dalam temuan semua studi ini adalah penggunaan istilah sentralisasi yang menghina dan argumen yang tak diucapkan bahwa hilangnya otonomi lokal merupakan ancaman terhadap demokrasi lokal.
2. Kebebasan untuk
Pada beberapa tingkat, persoalan ini dapat diatasi dengan memfokuskan pada aturan konstitusi dan politik yang berbeda bagi pemerintah sub-pusat. Ini adalah pendekatan yang dipakai oleh Wolman dan Goldsmith dalam perbandingan mereka tentang otonomi lokal di Inggris dan Amerika Serikat (Wolman dan Goldsmith, 1990). Kontribusi unik mereka terhadap studi otonomi lokal adalah mendefinisikan kembali otonomi lokal dipandang dari segi pengaruh dan akibatnya bagi lokalitas:
Dengan otonomi lokal kami mengartikan perhatian lebih banyak daripada perhatian tradisional terhadap kemampuan pemerintah lokal untuk bertindak tidak terkekang oleh pembatasan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi, perhatian yang mendominasi literatur hubungan antar-pemerintah dan pemerintah lokal di Amerika Serikat dan Inggris… Malahan, kami menanyakan banyak pertanyaan yang berbeda dan, menurut pendapat kami, lebih mendasar: Apakah pemerintah lokal di daerah perkotaan mempunyai otonomi dalam pengertian bahwa kehadiran dan kegiatan mereka mempunyai pengaruh independen terhadap sesuatu yang penting? Apakah politik perkotaan berarti? (Wolman dan Goldsmith, 1990: 3)
Redefinisi otonomi ini sama dengan konsep inisiasi Clark, sepanjang ia berhubungan dengan hak dan kewajiban otoritas lokal untuk menjalankan kegiatan tertentu demi kepentingan warga negara mereka. Ia jauh lebih jelas daripada konsep Clark, bagaimanapun, karena ia memfokuskan perhatian tidak hanya pada kebebasan konstitusi dan hukum dari campur tangan pemerintah pusat tetapi juga akibat dari kebebasan itu. Dengan kata lain, ia membahas outcomes pemberian pemerintah lokal dengan ‘kebebasan untuk’ menjalankan prakarsa tertentu. Jadi, redefinisi mereka tentang otonomi lokal
17
mengkonsentrasikan pada kemampuan residual otoritas lokal, ketika semua variabel ekonomi dan politik luar diperhitungkan, untuk mempengaruhi kemakmuran lokalitas mereka. Akibatnya, mereka dapat membandingkan pemerintah lokal di Inggris dan Amerika Serikat tidak hanya pada dasar konstitusional tetapi juga pada dasar pengaruh yang berbeda yang proses politik lokal punyai, kemungkinan besar, pada daerah mereka. Pendekatan ini adalah pendekatan baru, yang mengarahkan dimensi baru pada studi otonomi lokal. Namun, ia mengecewakan sepanjang ia mengarah pada kesimpulan yang serupa dengan studi-studi terdahulu. Dengan memperlakukan otonomi lokal sebagai sebuah fenomena residual—yaitu, sebagai jangkauan yang ditinggalkan pada pemerintah lokal setelah ‘penentu utama’ (hal24) diperhitungkan—Wolman dan Goldsmith menemukan bahwa otonomi lokal sangat dibatasi oleh pemerintah pusat dan faktor sosial ekonomi luas lainnya.
Pendekatan ‘kebebasan untuk’ adalah penting dalam konteks hubungan antara otonomi dan demokrasi lokal, bagaimanapun, karena ia menyatakan variasi dalam otonomi lokal dalam sistem pemerintah tertentu, ia menyatakan bahwa meskipun pemerintah ada dalam batasan politik, ekonomi dan konstitusional, otoritas lokal individual dapat, meskipun begitu, mempengaruhi outcome yang sangat berbeda bagi lokalitas mereka. Dengan kata lain, ia menekankan perbedaan pada dasar aturan dan pelaksanaan politik lokal. Akibatnya, studi otonomi lokal mungkin berharap menemukan outcomes kebijakan yang berbeda pada lokalitas yang berbeda karena cara tiap otoritas lokal menafsirkan hak dan kewajibannya dalam hubungannnya dengan persoalan dan preferensi lokal. Fokus pada perbedaan ini penting bagi konsep demokrasi lokal, karena ia merupakan justifikasi utama bagi pemerintahan-sendiri lokal (Jones dan stewart, 1983).
3. Membangun pengertian tempat/ruang
Pendekatan geografi politik mengkonseptualisasikan otonomi lokal sebagai fenomena bottom-up (Lake, 1994), yang di dalamnya lokalitas berusaha membangun pegertian tempat mereka sendiri melalui interaksi sosial dan politik. Otonomi lokal, menurut perspektif ini, bukan kebebasan dalam hubungannya dengan hukum atau batasan lain, tetapi secara lebih luas merupakan kapasitas untuk mengendalikan pembangunan dan pemerintahan lokal. Sementara pendekatan ini tidak mengingkari pentingnya negara bangsa dalam membatasi tindakan, ia berargumen bahwa lokalitas ‘dibuat lebih kuat atau lebih tidak berdaya bukan oleh yang berkuasa, tetapi oleh yang mewakili mereka melalui pertandingan dalam kehidupan sosial’ (Brown, 1993: 264). Akibatnya, ia menempatkan lebih banyak tekanan pada kegiatan komunitas dalam mendefinisikan otonomi mereka sendiri. Menurut perspektif ini, tingkat otonomi lokal yang ditemukan di lokalitas tertentu bergantung pada apa yang sedang diperjuangkan untuk mencapai (nya) dan apa yang sedang ia usahakan untuk menjadi otonom (darinya). Berbeda secara langsung dengan tradisi lokalis Jones dan Stewart, pendekatan ini tidak terfokus pada kemungkinan lokal untuk berbeda tetapi pada cara yang di dalamnya mereka berusaha mendefinisikan perbedaan mereka sendiri.
Konsentrasi pada pembangunan dan pemerintahan lokal tidak mengingkari peran negara bangsa maupun faktor-faktor lain dalam membentuk kesempatan bagi otonomi
18
lokal. Sesungguhnya, banyak karya di bidang ini membangun dari pemahaman hubungan kekuasaan antara lokalitas dan lingkungan mereka yang lebih luas:
…otonomi bukan merupakan sebuah komoditas yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh individu atau lokalitas. Malahan otonomi adalah serangkaian hubungan kekuasaan. Oleh karena itu, suatu lokalitas tidak dapat mempunyai otonomi, karena otonomi hanya dapat diwujudkan melalui hubungan ekonomi, politik, dan sosial yang hubungan dalam lokalitas itu dilibatkan dengan dunia ekstra-lokal (DeFilippis, 1999: 976).
Jauh dari sebuah pemahaman hubungan-kekuasaan seperti itu, dan cara yang di dalamnya tempat yang berbeda berusaha membangun arti yang berbeda bagi otonomi lokal, yang Lake (1994) mengembangkan tinjauan kemungkinan dan batasan lokalitas untuk merundingkan otonomi di bidang tertentu. Lake mengkonsentrasikan pada wacana teknis-rasional yang mendominasi hubungan pemerintah pusat dengan lokalitas. Wacana ini, dia berargumen, ‘memberi negara dengan penampilan netralitas untuk menyeimbangkan tuntutan struktural yang bertentangan’ (hal439). Dia membedakan wacana teknis-rasional pemerintah pusat dengan wacana partisipasi dan negosiasi pada tingkat lokal dan menunjukkan bagaimana negara menempatkan sejumlah hambatan struktural terhadap realisasi wacana alternatif ini. Wacana partisipasi dan negosiasi, dia berpendapat, merupakan cara yang di dalamnya komunitas dapat membangun pengertian tempat mereka sendiri melalui hubungan dengan negara dan aktor-aktor lain. Dengan menerapkan wacana teknis-rasional dalam negosiasi seperti itu, bagaimanapun, negara dapat menegakkan rintangan terhadap otonomi lokal dan menegaskan otoritasnya. Hegemoni wacana teknis-rasional dalam hubungan lokal-pusat, oleh karenanya, memberi negara dengan banyak kekuasaan dan mengurangi usaha-usaha untuk mencapai otonomi lokal. Karena itu, Lake menyimpulkan bahwa ‘pada akhirnya, perdebatan atas otonomi lokal merupakan sebuah perdebatan atas tiap kekuasaan bentuk alternatif wacana’ (hal. 439). Untuk mencapai otonomi lokal, yang di dalamnya komunitas diberdayakan untuk membangun pengertian tempat mereka sendiri, akan memerlukan sebuah perubahan radikal (yang) jauh dari argumen teknis-rasional bagi kebijakan tertentu dan penerimaan variasi lokal berdasarkan partisipasi dan negosiasi atas isu-isu khusus.
Memahami otonomi lokal dalam cara ini mempunyai daya tarik yang besar bagi studi demokrasi lokal, karena ia membawa demokrasi partisipatoris pada tingkat lokal ke dalam analisis. Jika institusi politik lokal adalah sarana yang dengannya hubungan sosial dalam sebuah lokalitas dikonsolidasikan, dan (merupakan) saluran yang melalui saluran itu hubungan dengan badan ekstra-lokal dijalankan, maka peran demokrasi lokal dibangun. Dengan kata lain, jika otonomi lokal terutama mengenai pemberdayaan komunitas lokal untuk mendefinisikan pengertian tempat mereka sendiri, maka institusi politik, dan terutama institusi demokrasi, terletak pada jiwa usaha untuk mensahkan atau meningkatkan otonomi lokal.
Demokrasi juga dibawa masuk ke dalam analisis sejauh ia mencirikan hubungan kekuasaan, dan ketegangan nyata mereka, antara pusat dan lokalitas. Sementara lokalitas
19
sedang berusaha membangun otonomi melalui wacana politik partisipasi dan demokrasi, pusat dapat berkuasa dengan jalan lain terhadap jawaban teknis-rasional untuk persoalan politik. Argumen ini mempunyai implikasi luas bagi perkembangan demokrasi pada tingkat negara bangsa karena ia menyatakan bahwa pemerintah nasional mungkin tidak terelakkan melawan partisipasi-demokrasi yang berusaha mereka kembangkan.
Persoalannya dengan pendekatan ini terletak dalam memahami definisi tempat dalam konteks ini. Dalam banyak hal, pendekatan bottom-up ini menegaskan bahwa komunitas, jika mereka adalah membangun pengertian tempat mereka sendiri, pertama-tama harus mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai komunitas. Ini berbeda dengan pendekatan konstitusional tradisional terhadap administrasi publik, yang mengakui hak negara berdaulat untuk mendefinisikan dan meredefinisikan batas-batas fungsional pemerintah lokal. Perbedaan ini tidak membuat tidak berlaku gagasan otonomi lokal sebagai pembangunan tempat/ruang sosial tetapi ia sungguh mengangkat sebuah persoalan penting: jika otonomi lokal bukan mengenai independensi relatif institusi pemerintah lokal yang ditetapkan pusat maka pada tingkat apa otonomi lokal tepat? Jika otonomi lokal berhubungan dengan pembangunan ruang sosial dan politik maka ia mungkin terjadi pada tingkat sangat lokal, di bawah pemerintah lokal tradisional. Sebagai contoh, banyak ‘urban boxes’ yang muncul di kota-kota Inggris mungkin dilihat sebagai komunitas-mikro dalam otoritas lokal tradisional. Persoalan sesungguhnya adalah bahwa, dalam tradisi pemikiran politik liberal, otonomi pada dasarnya adalah tentang kebebasan individu, berbeda dengan demokrasi, yang pada dasarnya tentang pembuatan keputusan bersama. Segera sesudah analisis otonomi bergerak menjauh dari fokus pada organisasi pemerintah lokal, ia menjadi sebuah konsep yang ambiguous dan mutable yang mepunyai nilai terbatas dalam memahami realitas praktek demokrasi pada lokalitas.
Dengan demikian, otonomi desa dikonseptualisasikan sebagai suatu tingkat independensi atau ‘kebebasan dari’ negara-bangsa, suatu tingkat ‘kebebasan untuk’ mencapai preferensi lokal dan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan, yang paling menantang, tingkat kapasitas desa untuk mendefinisikan dan mengartikulasikan pengertian mereka sendiri. Oleh karena itu, menurut definisi ini, otonomi desa lebih dari hanya sebuah ukuran relatif independensi finansial, organisasional atau politik otoritas lokal dalam sebuah negara bangsa, otonomi lokal juga merupakan ciri hubungan sosial dan politik yang membuat tiap tempat berbeda. Sementara demokrasi lokal adalah tentang pemerintahan-sendiri, oleh karena itu, otonomi lokal adalah tentang perbedaan: perbedaan pada kedua proses politik yang memungkinkan komunitas mengartikulasikan pengertian ruang mereka sendiri dan (perbedaan) dalam hasil-hasil proses itu.
Desentralisasi Desa
Desentralisasi desa merupakan kebijakan negara yang dibutuhkan untuk mendukung otonomi desa ketika desa berada dalam formasi negara. Prinsip dasar desentralisasi adalah pengakuan negara terhadap eksistensi desa (sebagai kesatuan masyarakat hukum atau sebagai local self-government), yang kemudian diikuti dengan pembagian kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada desa. Untuk
20
membuat desentralisasi desa bekerja, mau tidak mau, harus dimulai dari upaya membuat struktur pemerintahan secara nonhirarkhis. Indonesia sejak dulu mewarisi struktur pemerintahan tersusun secara hirarkhis ketika kesatuan hukum masyarakat lokal diintegrasikan ke dalam formasi negara. Formasi negara sudah tersusun secara hirarkhis (pusat, provinsi, kabupaten dan desa) sehingga menghilangkan struktur self-governing community. Hirarkhi itu adalah realitas. Dalam memformulasikan otonomi desa, kita tidak bisa berangkat dari titik nol, melainkan memperhatikan level (jika bukan diterima sebagai hirarkhi) pemerintahan yang sudah ada: pusat, provinsi, kabupaten dan desa. Provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi sentrum pembicaraan tentang basis otonomi daerah/desa tentu tidak bisa saling meniadakan dan juga tidak bisa memandang sebelah mata terhadap desa, yang konon mempunyai “otonomi asli” dan self-governing community jauh lebih tua ketimbang provinsi dan kabupaten. Apalagi desa merupakan basis kehidupan yang paling dekat dengan masyarakat. Pembicaraan basis otonomi daerah pada kabupaten atau provinsi sebenarnya tidak terlalu relevan, karena itu harus dibangun format otonomi yang mampu melewati (beyond) batas-batas dan hirarkhi kabupaten maupun provinsi.
Keempat level pemerintahan bukanlah hirarkhi yang konsentris-sentralistik, melainkan sebagai sebuah sistem non-hirarkhis yang masing-masing level mempunyai otonomi. Dalam konteks ini butuhk perumusan kembali formula desentralisasi kewenangan, kewajiban, tanggungjawab, sumberdaya, keuangan dan hak secara detail dan tegas antara pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa. Ketegasan dan kerincian (tentang kewenangan, kewajiban, tanggungjawab, sumberdaya, keuangan dan hak) harus dijamin supaya tidak terjadi tumpang tindih dan sekaligus menghindari multitafsir berdasarkan kepentingan masing-masing level pemerintahan.
Setiap level pemerintah tidak bertanggungjawab secara hirarkhis pada struktur atasnya, melainkan kepada publik dan lembaga perwakilan rakyat. Kontrol rakyat setempat perlu dilegalkan dalam UU, misalnya melalui mekanisme petisi, recalling sampai referendum. Presiden tidak perlu menghukum atau membubarkan DPRD yang tidak bertanggungjawab, biarkan masyarakat setempat yang memberikan hukuman terhadap terdakwa DPRD. Demikian juga perlakuan bupati terhadap kepala desa. Kepala desa bukan bertanggungjawab secara hirarkhis kepada bupati, melainkan kepada masyarakat setempat.
Tugas level pemerintah yang lebih tinggi adalah melakukan desentralisasi, memfasilitasi capacity building dan supervisi terhadap level pemerintah yang lebih rendah. Supervisi antara lain dimaksukan untuk menjaga agar pelaksanaan otonomi sesuai dengan visi besar otonomi daerah/desa dan meminimalkan praktik “raja-raja kecil” yang mbalela, misalnya sikap mbalela bupati/walikota terhadap gubernur. Gubernur bisa melakukan fasilitasi dan koordinasi atas kerjasama antarkabupaten, demikian juga dengan bupati di hadapan seluruh desa di wilayah yurisdiksinya. Kalau diilihat dari atas perlu penegasan tentang supervisi, maka kalau dilihat dari bawah perlu ada akses, yakni akses level pemerintahan bawah ke level yang lebih tinggi. Desa perlu punya akses terhadap kabupaten, kabupaten pada provinsi dan provinsi pada pusat, terutama akses dalam proses pembuatan keputusan. Karena itu yang perlu dipertimbangkan adalah hak desa untuk membela diri dan hak desa untuk bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah supradesa.
21
Bila hak ini tidak dimiliki desa, maka desentralisasi tidak lain berupa keangkuhan (arogansi) supradesa di hadapan desa. Akses daerah/desa ini harus dilegalkan dalam UU sehingga pemerintah yang lebih tinggi tidak lagi punya senjata untuk memukul pemerintah yang lebih bawah yang hendak mempengaruhi kebijakan.
Desentralisasi desa butuh dukungan kebijakan dan tindakan subsidiarity kepada desa. Desentralisasi dan subsidiarity tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiarity terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri. 10
Secara gampang, subsidiarity dapat dipahami sebagai lokalisasi pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan oleh struktur atau organisasi di level bawah.11 Kalau organisasi lokal mempunyai kemampuan bertindak yang bisa dipertanggungjawabkan, maka keputusan cukup diambil di tingkat lokal, tidak perlu ditarik ke organisasi yang lebih tinggi. Sebagai contoh, kalau desa mempunyai kemampuan mengelola konflik, perkawinan, melakukan pungutan berskala kecil, harta desa, dan lain sebagainya, maka keputusan dan kewenangan untuk hal-hal itu tidak perlu dibawah naik ke kabupaten. Desa tidak perlu dipaksa menunggu keputusan maupun juklak dan juknis dari kabupaten.
Apa yang terjadi kalau tidak ada subsidiarity, dan apa manfaat dengan adanya subsidiarity? Selama ini pemerintah atasan sering menggunakan argumen “tidak siap” untuk membatasi ruang gerak atau tidak memberikan kewenangan pada pemerintah bawahan. Pemerintah atasan sering merasa “dilangkahi” kalau pemerintah bawahan mengambil keputusan secara mandiri. Tanpa subsidiarity, maka tidak ada proses belajar yang bisa mengurangi ketidaksiapan. Tanpa subsidiarity, pemerintah bawahan akan selalu tidak siap, tergantung, tidak mempunyai inisiatif dan kreativitas, selalu menjadi kerdil di hadapan pemerintah atasan. Kenyataan ini tentu saja sangat bertentangan dengan
10Tentang subsidiarity lihat Lars Blichner dan Linda Sangolt, "The concept of Subsidiarity and the Debate on European Cooperation: Pitfalls and Possibilities". Governance 7 (3), 1993; David Bosnich, “The Principle of Subsidiarity,” Religion and Liberty, 6 (4), 1996; dan Andreas Follesdal, "Subsidiarity", Journal of Political Philosophy. 6 (2), 1998.
11Sutoro Eko, “Otonomi Daerah Berbasis Masyarakat”, Makalah Disajikan Dalam Lokakarya Membangun Keistimewaan Yogyakarta Dalam Konteks Desentralisasi dan Demokratisasi, Kerjasama Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 22-25 Oktober 2002.
22
semangat dan substansi otonomi daerah/desa. Sebaliknya, subsidiarity niscaya akan memberikan banyak manfaat: (1) membatasi kesewenang-wenangan pemerintah atasan; (2) memberi ruang belajar untuk maju bagi pemerintah bawahan; (3) memperkuat prakarsa, kapasitas, tanggungjawab dan kemandirian pemerintah bawahan. Melalui subsidiarity, niscaya semangat kemandirian dalam otonomi desa bisa dibangun meski membutuhkan waktu panjang. Memang betul bahwa kapasitas SDM pemerintah bawahan masih lemah, tetapi kalau tidak ada subsidiarity yang diiringi dengan “pembinaan” dan supervisi yang positif, maka kapasitas itu akan selamanya lemah.
Di dalam desentralisasi politik juga terkandung gagasan desentralisasi pembangunan. Gagasan pembangunan desentralistik pada prinsipnya paralel dan terintegrasi dengan desentralisasi pemerintahan. Gagasan utama desentralisasi pembangunan adalah menempatkan desa sebagai entitas yang otonom (mandiri) dalam pengelolaan pembangunan. Dengan demikian, perencanaan pembangunan desa dari bawah ke atas (bottom-up) harus ditransformasikan menjadi pembangunan desa berbasis masyarakat (community based rural development). Perencanaan pembangunan desa melalui musbangdes tidak perlu dibawa ke atas, melainkan cukup berhenti di desa. Dengan kalimat lain, desentralisasi pembangunan identik dengan membuat perencanaan pembangunan berhenti hanya sampai di desa. Desa berarti punya kemandirian dalam perencanaan pembangunan tanpa instruksi dan intervensi yang mematikan. Ini bukan berarti hendak membuat desa sebagai “negara berdaulat” di hadapan kabupaten, tetapi semangatnya adalah memberi ruang bagi desa untuk membangun kreasi dan prakarsa secara mandiri. Yang dilakukan kabupaten bukanlah “campur tangan” melainkan memberi “uluran tangan” kepada desa. Uluran tangan pun bukan berarti memberi sedekah (charity), tetapi pada konteks fasilitasi pengembangan kapasitas desa dan supervisi terhadap perencanaan dan implementasi pembangunan desa. Pembangunan desentralistik harus ditopang dengan transfer dana alokasi umum (block grant) dan kepastian perimbangan keuangan antara desa dan supradesa..
Desentralisasi politik dan desentralisasi pembangunan di atas tidak bakal berguna bila tidak diikuti dengan membawa desentralisasi keuangan (fiskal) sampai ke desa. Tujuannya adalah memastikan perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa. Dana Alokasi Umum, misalnya, harus dibagi secara seimbang antara provinsi, kabupaten/kota dan desa. Demikian juga pembagian tentang dana perimbangan (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan sumber daya alam) maupun pemberian taxing power kepada desa. Desa, misalnya, juga punya hak dan kesempatan untuk melakukan pungutan pajak maupun retribusi maupun mengelola sumber-sumber lain di luar tanah kas desa, seperti pasar. Pungutan dan hasil pasar bisa dikumpulkan langsung oleh desa tanpa harus disetor kepada kabupaten, untuk pembiayaan urusan desa. Cara seperti ini memungkinkan penguatan kesempatan, kepercayaan, tanggungjawab desa dan sekaligus bisa mengurangi budaya ketergantungan dan (maaf) kultur mengemis pada kabupaten. Sebaliknya cara alokasi dana dilakukan secara merata (flat) justru tidak memperkuat kapasitas desa dan tidak merangsang desa berbuat sesuatu secara kreatif.
23
Di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, berdasarkan Perda No 03 Tahun 2002 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, ada ketentuan yang cukup menarik:
1) Penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkotaan dan Pedesaan (Sektor SKB) dibagi dengan imbangan 25% (dua puluh lima persen) untuk Pemerintah Daerah dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk pemerintah desa.
2) Penerimaan Daerah dari Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dibagi dengan imbangan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk Pemerintah Daerah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk Pemerintah Desa.
3) Penerimaan dari Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dibagi dengan imbangan 25% (dua puluh lima persen) untuk Pemerintah Daerah dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk Pemerintah Desa.
4) Penerimaan Daerah dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan Imbangan 25% (dua puluh lima persen) untuk Pemerintah Daerah dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk Pemerintah Desa.
5) Penerimaan Daerah dari Sumber Daya Alam selain Tambang Galian Golongan “C” dibagi dengan imbangan 25% (dua puluh lima persen) untuk Pemerintah Daerah dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk Pemerintah Desa.
Sedangkan untuk penetapan dana alokasi, Kabupaten Selayar menetapkan ketentuan:
1. Dana alokasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari penerimaan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam APBD untuk seluruh Desa.
2. Dana Alokasi untuk suatu desa tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian Dana Alokasi Umum untuk seluruh desa yang ditetapkan dalam APBD dengan porsi desa yang bersangkutan.
Demokratisasi Desa
Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa, BPD dan masyarakat. Dalam konteks ini, saya memahami dam meletakkan demokrasi (yang relevan dengan konteks desa) ke dalam tiga ranah utama: pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan desa; serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
1. Pengelolaan Kebijakan Desa
Kebijakan desa (termasuk peraturan desa) yang berbasis pada masyarakat. Sebuah kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa berbasis masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan 24
konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa. Dipandang dari “manfaat untuk rakyat”, perdes dimaksudkan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes harus bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan seterusnya.
Sesuai dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat (demokratis) disusun melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi, formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi, implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya. Artikulasi adalah proses penyerapan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh BPD maupun pamong desa. Agregasi adalah proses mengumpulkan, mengkaji dan membuat prioritas aspirasi yang akan dirumuskan menjadi perdes. Formulasi adalah proses perumusan rancangan perdes yang bisa dilakukan oleh BPD dan/atau oleh pemerintah desa. Konsultasi adalah proses dialog bersama antara pemerintah desa dan BPD dengan masyarakat. Masyarakat mempunyai ruang untuk mencermati, mengkritisi, memberi masukan dan merevisi terhadap naskah raperdes. Pemerintah desa dan BPD wajib melakukan revisi terhadap raperdes berdasarkan umpan balik dari masyarakat dalam proses konsultasi sebelumnya. Naskah raperdes yang sudah direvisi kemudian disahkan (legislasi) menjadi perdes oleh pemerintah desa dan BPD. Sebelum perdes diimplementasikan, maka pemerintah desa dan BPD wajib melakukan sosialisasi publik, untuk memberikan informasi tentang perdes agar masyarakat tahu dan siap ikut melaksanakan perdes itu. Jika sosialisasi sudah mantap, maka perdes bisa dijalankan (implementasi). Berbarengan dengan proses implementasi, ada proses kontrol dan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah desa, BPD dan juga masyarakat. Penilaian berbagai pihak ini menjadi umpan balik untuk bahan inovasi terhadap implementasi, dan jika masalah terlalu berat maka umpan balik bisa digunakan sebagai pijakan untuk merevisi perdes.
2. Kepemimpinan dan Kepemerintahan
Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent maupun kepemimpinan yang birokratis, melainkan harus
25
digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, membangkitkan kreasi dan potensi desa.
Pemerintah desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan kinerja ekonomi. Legitimasi ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang impersonal.
Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga. Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.
BPD dan masyarakat adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan, BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat, bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD, melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik, tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.
Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang
26
korupsi di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.
Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi produktif rumah tangga.
3. Partisipasi Masyarakat
Jika pandangan yang berpusat pada negara memaham demokrasi dari sisi akuntabilitas, transparansi dan responsivitas penyelenggaraan pemerintahan, maka pandangan dari masyarakat memahami bahwa pilar utama demokrasi adalah masyarakat sipil (civil society). Sebuah pandangan dari masyarakat melihat demokratisasi bukan sekadar sebagai suatu periode transisi terbatas dari satu set aturan-aturan rezim formal ke satu set lainnya, tetapi lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan abadi, sebuah perjuangan yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi domain masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya (self-generating), setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat oleh suatu tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dari "masyarakat" secara umum dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, preferensi, dan ide-ide mereka, untuk bertukar informasi. untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntutan pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan untuk menekan para pejabat negara lebih akuntabel.12
Teori demokrasi mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan
12Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Yogyakarta: IRE Press, 2003).
27
pemerintahan desa. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat.13 Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh, dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan (rencana strategis desa, program pembangunan dan APBDES, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, musbangdus, musbangdes maupun rembug desa. Forum-forum tersebut juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola proses akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa.
Kontrol masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi, sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu bertanggungjawab dan tanggap terhadap kepentingan warga. Kontrol bisa dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch dogs), dan yang lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi tidak percaya, atau recalling terhadap elite lokal oleh masyarakat. Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri terhadap wakil rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main baik Undang-undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.
Membangun civil society maupun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi
13Deepa Narayan, et. al, Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook (Washington D.C: PREM World Bank, 2002).
28
lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk kegiatan seremonial atau untuk self-help, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa. Di desa sekarang, sebenarnya telah tumbuh kesadaran baru untuk membangun organisasi lokal yang berbasis pada prakarsa masyarakat secara mandiri. Di Desa Duwet (Kecamatan Ngawen, Klaten), misalnya, tumbuh sebuah organisasi bernama Forum Komunikasi Pemuda Duwet (FKPD), yang digerakkan oleh para pemuda untuk pendidikan politik dan basis partisipasi (voice, akses dan kontrol).14 Di wilayah Klaten Selatan (kantong-kantong kapitalisme tembakau) juga tumbuh organisasi Forum Petani Tembakau Klaten sejak awal reformasi, yang terus-menerus berpartisipasi mampu memperkuat bargaining position di hadapan pemerintah lokal setempat maupun PTP.
Penutup
Desa harus “dibela” dengan desentralisasi dimaksudkan untuk meletakkan desa pada posisi yang terhormat dalam otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berhenti di kabupaten/kota melainkan harus dibawa sampai ke desa, sebagai solusi permanen untuk membangun kemandirian desa. Tetapi desa juga harus “dilawan” dengan demokrasi untuk memerangi proses politik yang oligarkhis dan tidak partisipatif. Dari sudut pandang pemerintah, demokratisasi dimaksudkan untuk membuat pemerintahan desa dikelola secara akuntabel, transparan dan responsif. Dari sudut pandang masyarakat, demokratisasi terfokus pada upaya penguatan partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam proses pembangunan dan pemerintahan desa. Dengan demikian, desentralisasi harus disandarkan pada demokrasi, dan demokrasi harus berbasis partisipasi. Desa yang demokratis dan mandiri adalah pilar utama “desa terkondisi” yang kemudian dibawa naik ke atas untuk membangun Indonesia baru yang lebih demokratis, sejahtera, mandiri dan adil.
Bagaimana agenda untuk mewujudkan itu semua? Bagaimana mendesakkan desentralisasi dan demokrasi desa? Tentu saja tidak ada resep mujarab yang bisa digunakan secara instan. Tidak ada perubahan yang membuahkan hasil secara cepat, melainkan membutuhkan proses yang panjang. Dalam sebuah kesempatan saya mengusulkan gagasan “revolusi dari samping” untuk memulai dan mengawal perubahan desentralisasi dan demokrasi desa. Revolusi dari samping dimulai dengan tampilnya aktor-aktor pendukung perubahan yang menggalang teman (aliansi) di level desa melalui sistem bola salju, yang secara bertahap akan memperbesar kekuatan pendukung desentralisasi dan demokrasi desa. Dua hal penting yang perlu dicatat dalam revolusi dari samping. Pertama, membuka dan memperluas ruang publik melalui berbagai forum di desa yang membuat desa semakin semarak, serta menjadikan otonomi dan demokrasi desa menjadi kebutuhan mendesak bagi semuanya. Kedua, membangun kemitraan horizontal di level bawah yang terus berkembang menjadi jaringan antardesa dan antara desa dengan kekuatan di luar desa, untuk mendesakkan otonomi desa.
14Sutoro Eko (dkk.), Pembaharuan…op. cit.
29
Tetapi gagasan itu dikritisi oleh Sukoco, Lurah Desa Wiladeg, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul. Sukoco, seorang lurah “reformis”, menegaskan bahwa “revolusi dari samping” terlalu lambat menghasilkan perubahan, sehingga dia menawarkan solusi radikal: “revolusi sosial” dari bawah. Saya bilang ini adalah usulan yang luar biasa. Belakangan saya sering menjumpai aktor-aktor desa (lurah, BPD, pemuka masyarakat, dan pemuda) yang berhaluan seperti Sukoco, termasuk Kasdiono, Ketua Forum BPD Kulonprogo. Di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, saya juga ditantang oleh Dt. Majo Lelo (Ketua Badan Perwakilan Rakyat Nagari Gadut, Kecamatan Tilatang Kamang), untuk merumuskan resep mujarab yang bisa cepat membuahkan perubahan. Saya menilai bahwa sekarang telah tumbuh banyak aktor desa militan yang gelisah dan menghendaki perubahan secara cepat, tetapi mereka tidak tahu harus bertindak.
Secara substantif sebenarnya tidak ada perbedaan antara “revolusi dari samping” dan “revolusi dari bawah”. Pada prinsipnya pembaharuan desa yang meletakkan desa dalam desentralisasi dan demokrasi harus dimulai dari dalam desa dengan bersandar pada kekuatan sendiri. Para aktor properubahan harus terus-menerus menggalang kekuatan dari dalam desa dan membangun jaringan antar desa, untuk membangun aliansi strategis untuk perubahan. Pihak luar seperti NGO, perguruan tinggi, ormas dan pers hanya mengambil peran sebagai katalisator. Proses penguatan gerakan ini akan membuat desa makin semarak dan kritis, yang secara eksternal akan memperkuat posisi tawar desa di hadapan pemerintah supradesa.
• Kriteria untuk menentukan kewenangan yang dapat diserahkan dari Kabupaten ke Desa:
1. Kewenangan yang betul-betul memerlukan pengambilan keputusan yang khusus dan spesifik di level desa. Kewenangan ini memang tidak butuh campur tangan atau ditarik ke Kabupaten. Misalnya, pengelolaan tanah bengkok, kas desa, pasar tradisional, pengarem-arem, jalan kampung dan sebagainya;
2. Kewenangan yang tidak punya konsekuensi atau resiko yang signifikan bagi tujuan-tujuan prioritas yang lebih tinggi (pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi secara keseluruhan sampai negara). Kewenangan yang diserahkan kepada desa tidak boleh bertentangan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah supra desa, karena akibat dari format hirarkhi negara;
3. Kewenangan atau penyediaan barang dan jasa publik yang tidak memiliki dampak lintas desa (eksternalitas). Apabila penyediaan barang dan jasa publik menghasilkan dampak – baik yang positif maupun negatif – yang bersifat lintas desa maka kewenangan suatu urusan harus ditangani oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan dengan desa;
4. Kewenangan yang memiliki skala ekonomi relatif rendah dibandingkan dengan implementasi atau operasi pada skala luas wilayah tingkat pemerintahan supra desa. Dengan skala ekonomi yang rendah, efisiensi produksi barang dan jasa publik dapat dicapai pada tingkat produksi yang rendah dalam jurisdiksi desa. Apabila efisiensi biaya tidak dapat dicapai pada skala desa, devolusi kewenangan justru akan berdampak kontraproduktif. Sebaliknya apabila 30
ternyata efisiensi biaya dicapai pada skala desa, kewenangan suatu urusan harus didevolusikan ke desa;
5. Kewenangan yang butuh waktu respons secara cepat. Jarak yang jauh antara penyedia barang dan jasa publik dengan masyarakat akan menjadi masalah jika penyediaan tersebut memerlukan respons yang cepat. Devolusi kewenangan kepada pemerintah desa merupakan solusi permasalahan tersebut;
6. Pengelolaan kewenangan yang besifat padat karya (labor intensive), bukan teknis dan tidak padat modal (capital intensive). Implementasi dan operasi penyediaan barang dan jasa publik yang padat karya umumnya sesuai dengan kemampuan sumber daya di desa. Sebaliknya apabila pelaksanaan suatu kewenangan memerlukan kemampuan teknis dan modal besar, desa akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan;
7. Perlu pertimbangan tentang keperluan integrasi yang erat antar lintas sektor dari berbagai kegiatan urusan di dalam wilayah geografis desa. Kewenangan tersebut berkaitan dalam sebuah jurisdiksi desa. Jika berbagai kewenangan tersebut masih ditangani per sektor oleh instansi pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi, hal ini menyebabkan koordinasi dan implementasi menjadi tidak efisien;
8. Kewenangan yang memerlukan partisipasi lokal. Kebutuhan terhadap partisipasi lokal menyebabkan perlunya devolusi kewenangan kepada desa sehingga partisipasi lokal dapat dioptimalkan. Akan lebih mudah jika fasilitasi partisipasi masyarakat dilakukan oleh pemerintahan yang paling dekat kepada masyarakat, yaitu desa.
9. Pelaksanaan kewenangan yang tidak memerlukan tindakan dukungan signifikan dari instansi pemerintah lain, baik dari tingkatan yang lebih tinggi atau antara instansi/lembaga semi otonom. Ini menunjukkan bahwa kemandirian desa sangat diperlukan dalam menjalankan kewenangan yang didevolusikan. Kasus dimana kontraktor sebagai pelaksana bertanggung jawab terhadap pemerintah desa dalam suatu proyek diperbolehkan dalam devolusi kewenangan urusan.
31

Pesan Disini

Name:
Email Address:
Jenis Kopi:
Merek:
Jumlah (Kg):
Alamat Pengiriman

create form